Kamis, 30 Mei 2013

NASKH dan MANSUKH



NASKH dan MANSUKH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Makalah
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu :DR.Nur Mahmudah,M.A





 



                                                                                                                              









Disusun Oleh :
Heri Susanto           : 111518
Hanik Rohayati      : 111510





 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PBA-B
TAHUN 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Al-qur’an merupakan sumber pertama dan utama dalam sumber Islam sehingga ia diyakini bersifat pribadi universal. Pernyataan tersebut disepakati ulama. Abadi berarti terus berlaku sampai akhir zaman. Sedangkan universal berarti syari'atnya berlaku untuk seluruh dunia  tanpa memandang perbedaan struktur etnis dan geografis. Hanya saja dalam menjabarkan arti abadi dan universal itu menjadi bahan diskusi para ulama, karena adanya perrbedaan masalahyang mereka tekankan.
Sebagaimana dari mereka melihat bahwa factor kesucian al-Qur’an yang palin menonjol, sedangkan yang lainnya melihat factor kelanggenan al-Qur’an dalam menjawab setiap tuntutan situasi dan kondisi. Diantara masalah rumit yang sudah lama menjadi bahan perbincangan ulama adalah naskh dan mansukh. Fenomena naskh merupakan bukti terbesar bahwa ada dialektika hubungan antara wahyu dan realitas, sebab naskh adalah pembatalan hukum baik dengan menghapuskan dan melepaskan teks yang menunjuk hukum bacaan atau membiarkan teks tersebut tetap ada sebagai petunjuk adanya hukum yang dimansukh.

B.     Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Naskh dan Mansukh?
2. Bagaimana Pedoman Mengetahui Naskh?
3. Bagaimana Pendapat tentang Naskh Mansukh?
4. Apa Saja Macam-macam Naskh dalam al-Qur’an?
5. Apa Hikmah Naskh Mansukh?











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Para ulama telah panjang dan lebar bertukar pikiran tentang ta’rif naskh menurut istilah, karena lafadz naskh mengandung beberapa makna dari segi bahasa:
Ø  Naskh dapat bermakna ‘izalah (menghilangkan), seperti firman Allah: “fayansakhullahu ma yulqisy syaithanu tsumma yuhkimullahu ayatihi” (maka Allah menghilangkan apa yang setan nampakkan kemudian Allah menjelaskan ayat-ayatNya), QS.Al-Hajj: 52.
Ø  Naskh dapat bermakna tabdil (mengganti), seperti firman Allah: “wa idza baddalna ayatan makana ayatin” (dan apabila kami mengganti suatu ayat ditempat suatu ayat yang lain, QS. An-Nahl: 101.
Ø  Naskh dapat bermakna tahwil (memalingkan).
Ø  Naskh dapat bermakna menukilkan, seperti perkataan nasakhtul kitaba (saya menukilkan isi kitab).[1]
Secara terminology, naskh adalah hukum syara’ yang pertama yang belum diubah dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.[2] Sedangkan mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan.

B.     Pedoman Mengetahui Naskh
            Dalam beberapa literature yang membahas mengenai konsep naskh ditemukan sejumlah riwayat yang dinisbatkan pada sahabat, yang menekankan pentingnya memperoleh pengetahuan tentang ayat-ayat yang naskh dan yang mansukh dalam al-Qur’an.
Berkaitan dengan pentingnya pengetahuan mengenai masalah ini, manna’al-Qottan telah menetapkan tiga metode yang dapat dipakai untuk mengetahui bahwa suatu ayat dikatakan naskh dan ayat lain sebagai mansukh. Ketiga metode tersebut adalah :
Pertama: berdasarkan informasi yang jelas yang didapat dari Nabi SAW dan sahabat. Seperti hadist “kuntu nahaitukum ‘an ziaratil qubur, ala fazuruha” (aku fulu melarang kamu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah).
Kedua, berdasarkan consensus (ijma’) umat bahwa ayat ini naskh dan ayat itu mansukh.
Ketiga, berdasarkan studi sejarah tentang mana ayat-ayat yang turun lebih dulu dan mana yang kemudian, lebih lanjut qottan menegaskan bahwa naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, atau berdasarkan pendapat musafir.[3]
C. Pendapat tentang Naskh
            Dalam masalah naskh, terdapat beberapa pendapat:
1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurut mereka, naskh mengandung konsep al-bada’, yakni muncul setelah tersembunyi. Maksud mereka naskh itu adakalanya tanpa hikmah dan ini mustahil bagi Allahdan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula bagiNya.
            Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah naskh dan mansukh telah diketahui oleh Allah lebih dahulu.
2. Kalangan Syi’ah Radhifah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi pada Allah. Untuk mendukung pendapatnya ereka mengajukan argumentasi denganucapan-ucapan mereka yang dinisbatkan kepada Ali RA secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki)” (Ar-Ra’du: 39, maknanya Allah senantiasa bias untuk menghapu dan menetapkan.
            Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan pada al-Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah Allah menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat.
3. Abu Muslim al-Asfihany. Menurutnya secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi menurut syara’ tidak. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam al-Qur’an berdasarkan firman Allah:
“Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42).
            Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah bahwa al-Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkan.
4. Jumhur Ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil:
apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami lupakannya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (al-Baqarah: 106).[4]
D. Macam-Macam Naskh dalam al-Qur’an
            Macam-macam naskh dalam al-Qur’an antara lain:
            Pertama: menasakhkan tilawah dan hukumnya, misalnya apa yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain, dari Aisyah RA, ia berkata: “diantara yang diturunkan kepada beliau (Nabi) adalah sepuluh susunan yang maklum itu menyebabkan muhrim.” Kemudian ketentuan ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat “lima susuan yang maklum”. Maka ketika Rasulullah wafat “lima susuan” ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca (matlu’).
Kata Aisyah, “lima susuan ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca”, pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi tidak demikin dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat. Yang jelas ialah bahwa tilawahnya itu telaah dinaskh.
Kedua: menasakh hukum, sedang tilawahnya tetap. Naskh macam inilah yang paling banyak dibahas oleh para ulama’, namun naskh seperti ini pada hakekatnya sedikit sekali. Adapun hikmah adanya naskh ini adalah:
1. Agar tetap mendapat pahala orang yang membacanya karena ia kalamullah.
2. Karena naskh pada ghalibnya untuk meringankan maka dibiarkan tilawah tersebut untuk mengingatkan nikmat Allah.
Ketiga: menaskh tilawah, sedang hukumnya tetap. Hikmahnya untuk membuktikan sejauh mana ketaatan umat ini dalam berkorban tanpa banyak bertanya sebagaimana Nabi Ibrahim AS segera melaksanakan perintah Allah menyembelih anaknya hanya lewat mimpi.[5]
E. Hikmah Naskh
            Hikmah adanya naskh antara lain:
1. Memelihara kepentingan kaum muslimin.
2. Perkembangan tasyri menuju tingkat kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi mukallaf, yaitu apakah mengikuti ataukah tidak.
4. Menghendaki kebaikan bagi umat. Jika naskh beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka mengandung kemudahan dan keringanan.[6]
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
·         Naskh menurut bahasa dapat diartikan ‘izalah (menghilangkan), tabdil (mengganti), tahwil (memalingkan), menukilkan. Sedangkan secara terminology, naskh adalah hukum syara’ yang pertama yang belum diubah dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
·         Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan.
·         Tiga metode yang dapat dipakai untuk mengetahui bahwa suatu ayat dikatakan naskh dan ayat lain sebagai mansukh:
Pertama: berdasarkan informasi yang jelas yang didapat dari Nabi SAW dan sahabat.
Kedua: berdasarkan consensus (ijma’).
Ketiga: berdasarkan studi sejarah.
·         Beberapa pendapat tentang Naskh:
1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurut mereka, naskh mengandung konsep al-bada’.
2. Kalangan Syi’ah Radhifah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh. Mereka memandang konsep al-bada’.
3. Abu Muslim al-Asfihany. Menurutnya secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi menurut syara’ tidak. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam al-Qur’an.
4. Jumhur Ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’.
·         Macam-macam naskh dalam al-Qur’an antara lain:
Pertama: menasakhkan tilawah dan hukumnya.
Kedua: menasakh hukum, sedang tilawahnya tetap.
Ketiga: menaskh tilawah, sedang hukumnya tetap.





B.     DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Muchotob,2003,Studi al-Qur’an Komprehensif,Gama Media: Yogyakarta
Ichwan, Muhammad,2002,Memahami Bahasa al-Qur’an,Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Khalil al-Qattan,Manna’,2001,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,Pustaka Litera Anatar Nusa: Jakarta
Muhammad hasbi, Teungku,2002,Ilmu-Ilmu al-Qur’an,Pustaka Rizki Putra:Semarang
Rafiq, Ainur,2011,Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an,Pustaka Al-kautsar: Jakarta
Suhadi,2011,Ulumul Qur’an,Nora Media Enterprise: Kudus



[1]Teungku Muhammad Hasbi,2002,Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Pustaka RizkI Putra:Semarang,h.150
[2]Manna’ Khalil al-Qattan,2001,Studi Ilmu Ilmu Qur’an,Pustaka litera Anatar Nusa: Jakarta,h. 327
[3]Muhammad Nur Ichwan,2002,Memahami Bahasa al-Qur’an,Pustaka Pelajar: Yogyakarta,h.291-292
[4]Ainur rafiq,2011,Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an,Pustaka al-kautsar: Jakarta,h. 289-290
[5]Muchotob Hamzah,2003,Studi al-Qur’an Komprehensif,Gama Media: Yogyakarta,h.161
[6]Suhadi,2011,Ulumul Qur’an,Nora Media Enterprise: Kudus,h.136